Masalah “Tanpa Sendok” Hingga Mitigasi Krisis Iklim

Di akhir Februari ini, ‘Tanpa Sendok’ sempat menjadi trending topic di Twitter. Saya yang memulai posting “Tanpa Sendok” pun tidak menyangka akan seheboh ini.

Bermula dari kekecewaan saya saat memesan makanan di sebuah aplikasi online, GoFood. Untuk kesekian kalinya, makanan pesanan saya tetap diberi sendok plastik. Padahal saya tidak membutuhkannya dan sudah meminta jangan diberi sendok, apalagi jika terbuat dari plastik.

Tentu saya kecewa. Sebab, bagaimanapun usaha kita memanfaatkan sendok-sendok plastik itu, pada akhirnya akan tidak dibutuhkan dan menjadi sampah. Daur ulang plastik pun tidak cukup menjadi solusi, karena faktanya hanya 9% sampah plastik di dunia yang didaur-ulang. Padahal plastik terbukti akan merusak alam selama ratusan tahun. Sehingga lebih baik kita tidak memilikinya jika tidak membutuhkannya.

Sampah plastik adalah persoalan serius di Indonesia. Bagaimana tidak, menurut sebuah penelitian yang dipimpin oleh Jenna Jambeck, seorang insinyur lingkungan di University of Georgia, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai sumber sampah plastik di lautan setelah Cina. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebutkan, sampah plastik di Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Sementara menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2018, sekitar 0,59 juta ton sampah plastik berakhir di laut.

Ini lah mengapa “Tanpa Sendok” bukan sebuah persoalan sepele. Ada persoalan lingkungan hidup dan masalah sistemik di baliknya.

Benarkah Perubahan Seharusnya dari Tingkat Individu?

Baik konsumen maupun pihak restoran mungkin bisa mengambil inisiatif meminimalisir penggunaan plastik. Akan tetapi, menggantungkan perubahan individual sebagai solusi masalah sistemik akan sulit.

Sebab, perubahan individual tergantung pada kemampuan setiap individu dalam melakukan perubahan tersebut. Seperti pendidikan, keadaan ekonomi, beban pekerjaan, kondisi fisik dan mental. Oleh karena perbedaan tersebut, akan menjadi sulit untuk mengharapkan seluruh individu dapat memberikan kepedulian dan inisiatif yang sama. 

Ditambah lagi, perubahan individual itu terjadi secara sporadis dan tidak konsisten. Sebab tidak ada struktur yang mendorong individu untuk berubah bersama-sama. Contohnya, kalaupun para karyawan restoran peduli dengan pesanan saya untuk tidak memberikan sendok plastik, belum tentu mereka melakukannya secara konsisten dan kepada semua pelanggan. Bahkan misalnya, restoran itu memiliki kebijakan tegas tentang penggunaan plastik dan konsisten melakukannya, kita tidak bisa memastikan semua restoran menerapkan kebijakan dan konsistensi yang sama. Sehingga selain sporadis dan tidak konsisten, perubahan individual tidak terjadi dalam skala besar. Itu lah kenapa akan  sulit menyelesaikan masalah sistemik ini dengan perubahan individual.

Perubahan Struktural

Lalu bagaimana mempengaruhi semua individu agar dapat melakukan perubahan secara konsisten dan berskala besar? Menurut Model Sosio-Ekologis, perilaku individu dipengaruhi dan dibentuk oleh berbagai faktor sosial dan lingkungan. Artinya, kita dapat menciptakan perubahan berskala besar bila kita dapat menciptakan lingkungan yang mendorong perubahan individual. Ini disebut dengan menciptakan perubahan struktural. Dan perubahan struktural tersebut adalah tanggung jawab pihak-pihak pengambil kebijakan, seperti industri dan pemerintah.

Pada kasus sendok plastik, perubahan struktural seharusnya dilakukan oleh pihak GoFood dengan mewajibkan opsi “Sertakan Alat Makan” saat konsumen memesan makanan. Sebab, saat ini opsi tersebut belum diwajibkan pihak GoFood pada semua restoran di dalamnya. Perubahan dari GoFood ini akan otomatis mempengaruhi perilaku individu. Pihak konsumen akan mendapatkan alat makan jika memilih opsi tersebut dan pihak restoran akan terbiasa memberikan sendok hanya kepada konsumen yang memesannya.

Dari Sendok Plastik ke Mitigasi Krisis Iklim

Seperti pada kasus sendok plastik yang merusak lingkungan, perubahan individual dalam mitigasi krisis iklim juga tidak memberikan dampak yang berskala besar dan konsisten. Sebab, walaupun kita menghemat listrik dan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, namun jika industri bahan bakar fosil tetap beroperasi, maka krisis iklim tetap terjadi. Padahal, jika penyebab krisis iklim tidak segera dihentikan, berbagai dampaknya semakin dekat, seperti Jakarta tenggelam pada 2030.

Beberapa narasi seperti “mengurangi krisis iklim itu bisa dimulai dari kita” justru tidak adil bila ditelisik lebih dalam. Narasi yang menekankan tanggung jawab kepada individu itu justru membebankan penanggulangan krisis iklim kepada rakyat kecil. Pada narasi ini, tanggung jawab rakyat kecil disamakan dengan para pelaku penyebab krisis iklim, yaitu industri bahan bakar fosil. Padahal rakyat kecil lah yang paling sedikit berkontribusi terhadap penyebab krisis iklim dan paling sedikit mendapatkan keuntungan, tetapi ironisnya justru paling berat menghadapi dampak krisis iklim.

Seharusnya, mitigasi krisis iklim dibebankan kepada pelaku penyebab krisis iklim dan yang selama ini menerima keuntungan dari industri bahan bakar fosil. Mereka juga lah yang seharusnya bertanggung jawab atas dampak yang disebabkan industrinya. Disini lah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan, seharusnya membuat perubahan struktural. Misalnya, menghentikan PLTU yang sudah ada dan tidak membangun PLTU baru di mana pun. Bukan hanya itu, melalui kebijakan, pemerintah bisa mendorong bank-bank untuk tidak memberikan pinjaman untuk industri bahan bakar fosil dan segera melakukan transisi energi yang adil ke 100% energi terbarukan. 

Jika pemerintah melakukan perubahan struktural tersebut, maka akan mendorong individu-individu beralih ke energi terbarukan yang lebih adil dan ramah lingkungan.

Individu Tetap Pusat Perubahan Sosial

Walaupun perubahan individu disebut tidak berskala besar, namun individu tetap berada di pusat perubahan sosial. Menurut seorang pemimpin hak-hak sipil Amerika, Benjamin Todd Jealous, “Dalam demokrasi, hanya ada dua jenis kekuasaan: orang terorganisir & uang terorganisir, dan uang terorganisir hanya menang ketika orang tidak terorganisir.”

Perubahan struktural yang diharapkan akan terjadi jika suara kita sebagai individu terorganisir sebagai kesatuan tunggal. Ada banyak langkah besar yang bisa kita lakukan sebagai individu, salah satunya menjadi bagian dari gerakan yang terorganisir dan mendukung kampanye yang fokus pada perubahan struktural. Di Indonesia misalnya, saat ini sudah terbentuk komunitas-komunitas Fossil Free di berbagai kota dan kampus. Mereka secara aktif berkampanye agar muncul perubahan struktural untuk menghentikan penyebab krisis iklim. Seperti komunitas Fossil Free UI dan UGM, yang saat ini sedang mendesak BNI agar segera menghentikan pemberian pinjaman kepada industri batu bara.

Para mahasiswa tersebut memandang bahwa salah satu pihak yang memiliki kekuatan menghentikan industri bahan bakar fosil adalah bank-bank pemberi pinjaman. Jika kita berhasil mendesak bank-bank menghentikan pemberian pinjaman ke industri bahan bakar fosil, maka kita punya harapan menghentikan industri perusak masa depan itu secara lebih sistemik. 

Trending topic “Tanpa Sendok’ di Twitter beberapa waktu yang lalu bisa menjadi momentum bagi terbukanya peran-peran individu untuk mendesak perubahan struktural. Kita dapat menjadi bagian dari individu-individu yang terorganisir mendorong perubahan struktural di sektor lingkungan hidup secara lebih adil. Akhirnya, semua kembali pada diri kita, apakah kita akan menjadi bagian dari individu-individu yang terorganisir tadi?