Meniru Ahok dalam Memandang Tuhan

Saya pernah bertanya kepada eyang putri saya, “Yang, kalau eyang sedang sholat lalu ada ular di depan eyang, eyang tetap sholat kan?” Saat itu eyang putri saya  sedang sibuk melakukan sesuatu namun kemudian ia terhenti, menoleh ke arah saya dan berkata, “ya lari lah!” Saat itu saya bingung, lho kenapa lari? Bukannya menyembah Tuhan adalah yang utama daripada hidup kita? Namun saya tidak bertanya lagi dan memilih diam saja.

Sekarang mengingat kejadian itu saya jelas heran, bagaimana bisa seorang anak kecil bertanya pertanyaan tentang agama dan Tuhan? Bagaimana bisa saya memiliki logika yang konyol seperti itu? Darimana asalnya?

Semua berawal dari rasa takut. Takut akan neraka dan lebih parah lagi, takut akan Tuhan. Saya ingat, di depan gerbang sekolah saya ada seorang pria penjual komik. Salah satu komik yang ia jual adalah komik-komik tentang agama. Sangat jelas di memori saya, gambar-gambar di komik itu begitu menakutkan. Ada gambar orang yang lidahnya disetrika karena berbohong dan gambar orang yang direbus karena tidak menuruti perintah orang tuanya. Setiap halaman komik itu menunjukkan ilustrasi orang-orang di neraka yang disiksa dengan sadisnya.

Walaupun eyang putri berupaya keras agar saya tidak membaca komik sadis itu, tetapi teman-teman saya terus membahasnya dan sekali-kali menunjukkan komik-komik itu ke saya. Tak hanya buku komik, ketakutan akan Tuhan dan hukuman dari-Nya juga saya pelajari dari guru agama maupun teman-teman sekelas saya dari didikkan orang tua mereka. Ini lah yang dahulu membuat saya sampai bisa berfikir bahwa kita tetap wajib meneruskan sholat walaupun ada ular di depan mata. Seakan Tuhan lebih mengerikan dari ular yang berbisa.

Dari ajaran-ajaran yang menyebarkan rasa takut itu, kami jadi belajar untuk tidak berbuat jahat dan menghindari larangan-Nya agar terhindari dari neraka. Kami belajar menyembah dan menjalankan perintah-Nya agar mendapatkan reward surga. Saya yakin, kita semua pernah bertanya: Jadi kita menjalankan perintah dan menghindari larangan-Nya karena tulus mencintai-Nya atau karena menginginkan surga dan takut neraka?

Kita jadi hanya fokus pada neraka dan surga bukan mengasah nalar berfikir, mengapa berbohong itu tidak baik dan mengapa orang tua patut dipatuhi. Saya paham, mungkin mengajarkan rasa takut adalah metode pelajaran yang termudah untuk mempengaruhi manusia. Apalagi anak kecil. Namun setelah dewasa, kita pasti sudah lebih dari itu. Kita tumbuh menjadi manusia yang memiliki nalar lebih tajam, pengetahuan yang lebih luas, dan kemampuan dalam memahami isi hati. Kita jadi mulai paham bahwa hidup bukan untuk surga atau neraka, tetapi untuk menyebarkan kebaikan kepada seluruh makhluk hidup ciptaan-Nya sampai kapanpun nanti. Kita jadi sadar bahwa segala tindakan memiliki dampak yang baik maupun buruk sehingga kita harus selalu peduli dengan sekitar. Bahwa Tuhan bukan sosok yang patut ditakuti, tetapi sosok yang seharusnya sangat kita cintai dengan setulus-tulusnya. Bahwa Tuhan ada untuk menyemangati kita agar berbuat baik dan menguatkan kita saat menghindari perbuatan buruk. Sehingga saat kita menghindari larangan-Nya, kita takut membuat-Nya kecewa, bukan takut neraka. Dan saat kita menjalankan perintah-Nya, kita ingin membuat-Nya bangga, bukan karena mendambakan reward surga.

Kini saat kita dewasa, pasti Tuhan sudah bukan lagi sebuah sosok yang menakutkan dan perlu memberikan hukuman agar kita mematuhinya. Tetapi menjadi sebuah sosok sahabat terbaik yang selalu ada kapanpun dan dimanapun kita berada. Karena Ia amat sangat menyayangi umat-Nya, maka sebagai umatnya kita juga amat sangat menyayangi-Nya. Sama saat kita meyakini Tuhan lah yang terpenting dalam hidup ini, maka sosok pertama yang ingin kita datangi saat kita sedang bahagia adalah Tuhan. Kita pasti ingin membagi rasa syukur itu dan mengucapkan beribu terima kasih kepada-Nya. Karena kita mempercayai Tuhan lah yang selalu menemani dan membantu kita mewujudkan kebahagiaan itu. Saya yakin, orang yang mampu mencintai Tuhan dengan tulus tanpa membutuhkan reward dan punishment adalah orang yang hebat karena imannya sudah sangat kuat.

Namun ternyata saya salah. Mungkin mencintai-Nya dan mensyukuri nikmati-Nya, adalah hal yang mudah, karena kita sedang bahagia. Namun apakah kita tetap dapat mencintai-Nya saat kenyataan tidak sesuai dengan keinginan? Ini lah yang tidak mudah. Sebagai manusia biasa, kita pasti tidak luput dari rasa kecewa kepada Tuhan. Terutama saat menghadapi musibah berat. Kita pasti pernah berfikir, kenapa Tuhan memberikan musibah seberat ini kepada saya? Kenapa Tuhan tidak mengabulkan permintaan saya yang sangat sederhana?

Tetapi siapa sih tidak stress berat saat kehabisan uang untuk biaya hidup? Siapa yang tidak marah saat dihina? Siapa yang tidak dengki saat difitnah? Bahkan siapa yang tidak menangis saat ditinggal mati oleh orang tersayang? Stress, marah, dengki dan bersedih adalah tanda-tanda bahwa kita masih kesulitan menerima kenyataan dan menghadapi musibah. Tentu saja ini manusiawi, apalagi Tuhan lah yang menciptakan perasaan-perasaan itu kepada kita. Namun jika kita sudah merasa mampu mencintai-Nya dengan tulus, mengapa kita masih tidak mampu menerima kenyataan dari-Nya? Maka pertanyaan kita berikutnya: mampukah kita tetap setia mencintai-Nya bahkan saat sedang tertimpa musibah?

Saya mengenal banyak orang yang mampu mencintai-Nya dengan tulus. Orang-orang yang saya sebut hebat karena tidak perlu surga saat berbuat kebaikkan dan tidak perlu neraka untuk menghindari perbuatan jahat. Mereka sadar bahwa akhirat adalah tujuan tetapi mereka tidak melupakan proses sebagai manusia yang adil dan penyayang di kehidupan ini. Karena mereka percaya Tuhan tidak menciptakan umatnya hanya untuk di akhirat.

Namun hanya sedikit dari mereka yang tetap mencintai-Nya dan tetap menganggap-Nya sahabat saat sedang tertimpa musibah. Orang-orang yang mampu berfikir, apapun musibahnya, saya percaya musibah itu adalah jalan terbaik dari-Nya. Saya hanya perlu berusaha. Dan satu dari sedikit orang itu adalah Ahok.

Saya mengenalnya secara personal sejak setahun yang lalu. Selama saya mengenalnya, ia mengajarkan saya sikap ikhlas saat menghadapi masalah dan percaya bahwa Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang lebih hebat dari pengetahuan kita. Dia mengajari saya bukan dengan menceramahi saya tetapi dengan memberikan contoh sikap saat menghadapi berbagai masalah yang terus berdatangan menghampirinya.

Seperti saat kalah dalam Pilkada DKI 2017 lalu, ia yang sepatutnya paling kecewa justru yang berusaha membuat kami para pendukungnya tenang. “Percaya lah, kekuasaan itu Tuhan yang kasih, Tuhan pula yang ambil. Jangan sedih, Tuhan selalu tahu yang terbaik,” ucapnya dalam konferensi pers. Hari itu, banyak yang hampir lupa bahwa Tuhan sudah memiliki rencananya yang terbaik untuk kita, tetapi Ahok kembali mengingatkan kita.

Atau saat masih menjalani masa kampanye, ia tak pernah patah semangat dan terus berusaha mencapai kemenangan, tetapi tetap ingat bahwa Tuhan lah yang memutuskan. “Kalau tidak jadi gubernur, itu urusan Tuhan. Walau pun kita usaha. Kalau orang Islam man jadda wa jadda. Kita berusaha tapi semuanya urusan Tuhan. Kalau Tuhan ingin saya jadi pejabat, saya akan menjalankannya semaksimal mungkin. Tetapi kalau Tuhan tidak pilih saya pun, saya bersyukur. Saya selalu berdoa seperti itu,” katanya.

Ahok mengajari saya untuk tidak patah semangat dalam berusaha. Jika menginginkan sesuatu, kejar lah. Jika sudah dapat, gunakan atau kerjakan lah dengan sebaik mungkin. Namun saat kenyataan tidak sesuai harapan, tetap lah bersyukur. Karena kembali lagi, itu semua urusannya Tuhan dan Tuhan lah yang Maha Tahu lagi Maha Adil. Dia lah yang paling tahu mana jalan terbaik untuk kita semua.

Atau saat saya sedang sarapan di rumahnya setahun yang lalu, saya menanyakan bagaimana sikapnya jika ia dipenjara. Sambil menyiapkan mie rebusnya di dalam mangkuk, ia hanya menjawab, “Kalau harus dipenjara ya dipenjara aja. Nggak usah dipikirin.” Kemudian ia melahap mie rebus itu. Jangankan dipenjara, jika harus mati pun ia menyerahkannya kepada Tuhan. Saya pernah membuntutinya seharian bekerja di Balaikota dan mewawancarainya untuk artikel dalam blog saya. Pertanyaan tentang kematian dan kemungkinan ada yang ingin membunuhnya adalah  pertanyaan yang selalu ingin saya tanyakan kepadanya. Sambil menandatangani dokuman ia menjawab, “mati kan di tangan Tuhan? Kalau kamu memang harusnya mati muda mau bilang apa? Memangnya kalau kamu takut bisa membuatmu tidak jadi mati? Kalau kekhawatiran bisa membuat saya jadi panjang umur, saya mau khawatir. Tetapi kan enggak? Jadi buat apa takut?"

"Tapi sebenarnya kekhawatiran itu ada kan, Pak?" saya bertanya lagi dengan gusar. Sebenarnya saya hanya berharap dia lebih khawatir agar dia bisa lebih berhati-hati.

"Kalau kekhawatiran itu ada, stress dong? Sakit dong saya?"

"Sedikit pun tidak ada?"

"Kenapa saya bisa hidup enak? Tidur enak? Karena saya pasrah."

"Tapi padahal kemungkinan itu ada kan?"

"Ya kalau memang Tuhan memutuskan saya harus mati, ya saya mati. Ngapain dipikirin?” ucapnya kepada saya.

Mungkin kematian mudah untuk diterima, toh kita tak mampu menghindarinya. Tetapi bagaimana jika harus merasakan kenyataan menyakitkan di dalam hidup? Ahok kembali mengajari saya bagaimana menerima dan menjalaninya dengan pasrah. Saat ia mendapatkan hukuman kurungan 2 tahun misalnya. Ia bahkan harus menerima hukuman berat atas tuduhan yang tidak ia lakukan dan menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang melakukan kesalahan yang sama namun dibela. Ia harus terima untuk diborgol seperti penjahat kriminal, dibawa ke penjara detik itu juga, dan mengetahui keluarga maupun pendukungnya menangis tak tahan menghadapi ketidakadilan. Namun dari segala kenyataan yang menyakitkan itu, ia justru yang tampak paling tenang dan tetap memandang Tuhan sebagai sahabatnya.

“Gusti ora sare. Put your hope in the Lord, now and always. Kalau dalam iman saya, saya katakan: the Lord will work out His plans for my life,” tulis Ahok dalam surat terbuka yang ia tujukan kepada seluruh pendukungnya.

Bagaimana bisa seseorang yang kerja kerasnya tidak dihargai, justru selalu diserang dengan kebencian, selalu dihina, difitnah, diperlakukan tidak adil, dan sekarang harus jauh dari keluarga, masih tetap mencintai-Nya, tetap menaruh harapan kepada-Nya, dan percaya bahwa the Lord will work out His plans for his life? Bisa, jika kita meniru Ahok dalam memandang Tuhan.

Ahok tidak memandang Tuhan sedang murka, sedang marah, sedang menghukum, atau sedang memberi cobaan. Ahok memandang Tuhan dengan indah, sebagai Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Pemberi, lagi Maha Adil. Sehingga ia mampu ikhlas dan pasrah karena ia tahu Tuhan akan selalu mengasihinya, Tuhan paling mengetahui apa yang terbaik untuknya, dan Tuhan paling adil dalam memutuskan jalan hidupnya.

Awalnya saya selalu sedih membayangkan Ahok di dalam penjara. Apa yang dia lakukan disana? Apakah dia sengsara? Apakah dia jadi membenci negara ini? Apakah dia jadi membenci hidup ini? Apakah ia akan menyerah? Tetapi saya tidak lagi khawatir. Ahok adalah orang yang beruntung. Ia mampu mencintai-Nya dengan tulus dan mampu menerima kenyataan dari-Nya dengan lapang dada. Dia dapat hidup dengan tenang, tetap memiliki harapan, dan tidak patah semangat berusaha menjalani hidup dengan kebaikkan. Tak semua orang memiliki kemampuan seperti dirinya. Ia bahkan tetap mampu mengambil sisi baik dari musibah ini. “Saya jadi punya waktu untuk olah raga lebih banyak. Biasanya cuma 30 menit, sekarang bisa lebih!” Ia juga mengaku jadi banyak menulis, membaca, dan sedang fokus belajar Al Kitab dengan Bahasa Mandarin. Ia jadi memiliki waktu untuk dirinya sendiri dan dia mampu menikmatinya.

Di ulang tahun Ahok yang ke-51 ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Terima kasih karena telah mengirimkan seorang pemimpin baik untuk negara yang amat sangat saya cintai ini. Walaupun hanya sebentar namun luar biasa manfaatnya. Terima kasih pula telah menunjukkan kita bahwa sebesar apapun musibah itu, semua akan baik-baik saja jika kita ikhlas. Sebuah ilmu yang berat namun saya yakin semua orang mampu mencapainya. Dan terakhir, terima kasih karena telah memperkenalkan saya kepada Ahok, orang yang mampu mengajari saya bagaimana caranya mencintai-Mu dengan tulus dan indah.

Selamat ulang tahun Pak Ahok. Semoga selalu bahagia kapanpun dan dimanapun seumur hidup Bapak. Terima kasih atas segala kebaikan yang telah Bapak berikan dan segala pelajaran hidup yang telah Bapak sebarkan kepada kami. Teman saya pernah menitip salam untuk Bapak, bahwa dalam doanya, nama Bapak InsyaAllah selalu ia sebut setelah nama bapak dan ibunya. Sekarang, begitu juga dalam doa saya.

PS: For his 51st birthday (29th of June 2017), our beloved former governor of Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) get a present from us: a book called "Ahok di Mata Mereka" (Ahok in Their Perspectives).

This book is written by 51 authors coming from public figures, celebrities, book authors, journalists, to activists, who had experiences in meeting or even working with him. They include Syafii Ma'arif, Megawati Soekarnoputri, Mari Elka Pangestu, Najwa Shihab, Dee Lestari, Joko Anwar, Addie MS, etc. And I am so honored to be one of the authors!

To purcahse and more info about the book, please call/sms/WhatsApp: 081211666682.