Di dalam bioskop, saat film ini dimulai, saya baru sadar film yang akan saya tonton adalah film kuno Indonesia. Film tahun 1955! Kata teman di sebelah saya, "ini film lama yang direstorasi. Tadinya rusak, diperbaiki, jadi bisa ditonton lagi, Mit." Wah saya senang bukan main. Belum pernah saya menonton film Indonesia jaman nenek saya masih muda. Saya siap menikmatinya!
Tidak seperti posternya yang seperti film romansa-semi-bokep, film karya Usmar Ismail ini berkisah tentang kegelisahan seorang mantan tentara pasca proklamasi. Saya tak menduga orang jaman dahulu lebih kreatif daripada jaman sekarang. Terutama ide cerita mereka. Namun karena banyak budaya dan gaya yang berbeda dengan jaman sekarang, banyak penonton dalam bioskop yang hanya bisa menertawai kejadulannya sehingga mereka melewati makna film ini, film yang berjasa menyadarkan pandangan kita.
Saya tidak bisa menertawainya, saya justru sangat mengagguminya. Karena film ini, saya menjadi bisa membayangkan bagaimana orang-orang jaman dahulu saling berbicara, bagaimana gaya kalimat-kalimat "gaul" mereka, cara mereka berpesta, berdansa, bercanda dengan berpantun sambil menyanyikan lagu Rasa Sayange. Saya menjadi tahu "cewek cantik" pada jaman itu: tembem sedikit sipit. Yang membuat saya tahu, mengapa nenek saya menjadi idola laki-laki jaman dulu. (: Saya pun sangat terpesona, melihat betapa indahnya kota Bandung 57 tahun lalu. Trotoar besar dan bersih, toko-toko berjejer cantik, suasana lenggang dan nyaman. Sungguh indah. Ini benar-benar film yang dibuat pada jaman itu dengan pemikiran jaman itu pula. Bagaimana kita tidak menikmatinya? Seperti masuk dalam mesin waktu!
Selain menikmati keindahan Indonesia jaman dahulu, tokoh utamanya pun sangat ganteng! Iskandar (diperankan oleh A.N. Alcaff) seorang mantan tentara yang ingin memulai kehidupan baru sebagai penduduk sipil. Saat memulai kehidupan sipil, dia tinggal bersama kekasihnya, Norma (diperankan oleh Netty Herawati) beserta keluarganya. Untuk mengisi waktu luangnya, calon mertuanya memberi dia pekerjaan sebagai karyawan pemerintah. Namun karena sering disindir teman sekantornya, dia memukulnya, yang menyebabkan dia dikeluarkan dari pekerjaannya. Karena itu, dia berusaha mencari pekerjaan baru dengan mengontak kawan-kawan lamanya di dinas ketentaraan yang sekarang memiliki usaha sendiri. Tetapi selama dia mencari, dia justru mendapati bahwa korupsi telah merajalela dan selama ini dia berjuang hanya untuk kekayaan atasannya. Disini Iskandar terlihat sangat linglung, gusar, emosian, dan bodoh. Tak sedikit penonton yang menyeletuk, "bego banget sih!" dan kemudian sebal karena menganggap film ini "nggak jelas."
Saya prihatin tapi sekaligus senang juga. Senang karena berarti Alcaff berhasil memerankan tokoh Iskandar yang bodoh dan stres itu. Prihatin karena penonton yang tak mau melihat lebih dalam kisah ini. Bahwa kisah ini sebenarnya sangat menyedihkan, tentang seorang tentara yang selama ini hidup dalam peperangan, setiap harinya diperintah untuk membunuh, lalu pulang dan hidup di suasana kota yang penuh hura-hura. Mantan tentara perang butuh beradaptasi untuk memulai kehidupan baru sebagai penduduk sipil, tapi tak ada yang memahaminya kecuali kekasihnya. Siapa yang tidak linglung dengan keadaan itu? Apalagi saat dia mengetahui bahwa suatu keluarga yang pernah ia bunuh itu sebenarnya bukan musuh, tetapi keluarga yang direbut kekayaannya oleh atasan Iskandar. Bagaimana Iskandar tidak marah dan membunuh atasannya? Maka menjadi sangat rasional jika Iskandar bertingkah linglung, stress, emosian, dan tentu saja bodoh. Seperti film-film Amerika jaman sekarang yang menunjukkan betapa perang membuat tentara muda stres berat dan bertindak bodoh, film Indonesia 57 tahun lalu sudah lebih dahulu berusaha menunjukkannya.
Di akhir film, saat penonton tak sabar keluar bioskop, ada sebuah pesan yang ditulis dengan font sangat kuno:
Kepada mereka jang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan njawa mereka, supaja kita jang hidoep pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan boeah kemerdekaan. Kepada mereka jang tidak menoentoet apapoen boeat diri mereka sendiri.
Saya membacanya dengan sungguh-sungguh. Saya tidak setuju. Mereka yang memperjuangkan kemerdekaan kita saat ini tidak hanya mengorbankan nyawa mereka, tetapi juga secara tidak sadar mengorbankan kejiwaan mereka. Saya yakin banyak Iskandar-Iskandar yang hatinya berteriak meminta tolong namun tak ada yang mendengarkannya, memahaminya.
Film ini berhasil menyuguhkan pandangan baru tentang kesengsaraan pahlawan kemerdekaan kita. Terima kasih para Iskandar, para pejuang sejati. Ucapan terima kasih tak akan pernah cukup. Namun saya berjanji akan selalu mensyukuri dan memanfaatkan sebaik-baiknya atas segala hasil perjuangan dan pengorbananmu.
PS: Dirgahayu Indonesia ke-67!