"Saya Tak Salah, Jadi Saya Tak Kapok"

Sri Sulistyawati.jpg

(Find English translation below)

Saya menyesal setengah mati. Ingin rasanya kembali ke hari itu, tepatnya saat International Women’s Day. Saat saya menelpon rumah sakitnya dan menerima kabar baik bahwa ia sudah sehat, sudah kembali ke panti jompo tempat ia tinggal. Seharusnya saya langsung bergegas ke panti jomponya yang sangat dekat dengan kantor saya. Datang menemuinya, memeluknya, menggengam tangannya sambil mendengarkan kisahnya, mempelajari perjuangannya, meniru keberaniannya, dan akhirnya pulang untuk menulis lalu menyebarkan kisahnya. Seharusnya saya langsung menemuinya sebagai bentuk solidaritas sebagai sesama perempuan, sesama penulis. Tapi betapa tololnya saya yang selalu mengira ada hari esok. Maka hari ini - hari yang selalu saya anggap “hari esok” - pun datang. Hari ini ia meninggal.

Ia adalah korban kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia tahun 1965. Ia seorang wartawan Suluh Indonesia Muda yang dituduh memiliki hubungan dekat dengan Soekarno maupun terlibat Gerwani alias komunis. Ia dipenjara dan disiksa selama 11 tahun agar mengakui keterlibatannya. Padahal ia hanya lah seorang penulis seperti saya. Seorang penulis yang memiliki kesempatan untuk dekat dan mewawancari presiden. Namun ternyata kesempatan dan bakatnya membuat dirinya bernasib buruk. Harus melewati hidup berpindah-pindah, kehilangan suaminya yang dieksekusi, ditangkap, disiksa, dipenjara belasan tahun hanya karena menulis. Nasibnya jauh dari nasib saya yang masih disini, masih hidup tenang dalam kemewahan yang saya sebut “kebebasan berekspresi.” Dan saya - yang sangat beruntung ini - telah melewati kesempatan untuk berada di sisinya, menjadi temannya. Tak hanya sebagai pendengar, namun juga sebagai pemberi konfirmasi bahwa ia tidak sendiri dan ia tidak salah. Saya melewati kesempatan itu dan saya tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri.

Namanya Sri Sulistyawati, biasa dipanggil Eyang Sri. Hari ini Eyang Sri meninggal di usia 78 tahun. Bertahun-tahun ia berjuang mendapatkan keadilan, namun di hari ia meninggal pun ia belum juga mendapatkannya. Namun saya pun yakin Eyang Sri meninggal dengan tenang karena ia sudah berjuang. Apapun masalahnya, apapun hasilnya, jika kita sudah berusaha dan berjuang kita tidak akan menyesal. Dalam sebuah wawancara dengan CNN ia pernah berkata, “Saya tak bersalah, jadi saya tak kapok berorganinasi.” Paling tidak ia tahu ia tak bersalah dan paling tidak ia hidup dalam keberanian tanpa penyesalan. Dan itu membuat saya sedikit lega. Rest in peace, Eyang Sri. Saya berjanji akan menulis tentangmu lagi.

                                                                            ***

I regret it. I want to go back to that day, on the International Women's Day. When I called the hospital and received the good news that she was well, she just returned to the nursing home where she lived. I should have rushed to her nursing home, near my office. I should have come to her, hug her, hold her hand while listening to her story, understand her struggle, learn from her courage, and in the end write and spread her story. I should have come to her as a solidarity between women, between writers. But I am such a fool who always thought there’s always a tomorrow. So today - the day that I called ”tomorrow" - came. Today she passed away.

She is a victim of  human rights violations in 1965. She is a journalist of the Suluh Indonesia Muda who was accused of having close relations with President Sukarno and involved Gerwani or communist. She was jailed and tortured for 11 years to “confess” her involvement in 1965 tragedy. Although she was just a writer like me. A writer who has the opportunity meet and interview the president. But turned out the opportunity and her talent are a bad luck for her. She must go through a sedentary life, losing her husband who was executed, she was arrested, tortured, jailed for years just because of her writing. Her fate is far from mine, who is still here, still living in luxury I called “freedom of expression. “And I - this very lucky one - has passed the chance to be by her side, to be her friend. Not only to listen and understand her, but also to give her a confirmation that she is not alone and she did nothing wrong. I passed that opportunity and I will never forgive myself.

Her name is Sri Sulistyawati, we called her Eyang (Grandma) Sri. Today Eyang Sri died at the age of 78 years old. For years she fought for justice and even on the day she died she had not got it. But I am sure Eyang Sri died peacefully because she has tried, she stood up for herself. Whatever the case, whatever the outcome, if we have tried and fought for it, we will not regret it. In an interview with CNN she once said, "I did nothing wrong, so I am not afraid to be active in organizations again.“ At least she knows she did nothing wrong and at least she lives in courage without regret. And it made me a little relieved. Rest in peace, Eyang Sri. I promise to write about you again.