Empat Mata dengan Gita Wirjawan

image (1)

Sejak reformasi 1998, rakyat Indonesia mulai mendapatkan kebebasan memilih dan berpendapat dalam berpolitik. Tahun 2004, 6 tahun setelah reformasi, rakyat akhirnya bisa memilih presidennya secara langsung.

Saya tak mau Indonesia kembali seperti sebelum reformasi 1998. Kembali di jaman dimana kebebasan berpendapat itu sesuatu yang mengerikan dan bahkan tidak mungkin. Saya ingat betul bagaimana reaksi ibu saya saat pemilu tahun 1997. Saat itu saya berumur 9 tahun. Ibu saya keluar dari bilik tempat menyoblos dan ada yang bertanya ibu saya memilih apa. Sambil sedikit terkekeh, ibu berkata, "ya milih apalagi kalo bukan yang itu." Saya bingung dan bertanya kepadanya kenapa harus memilih yang itu? Kata ibu, tidak ada gunanya milih partai lain karena yang menang pasti yang itu juga. Ibu juga mengaku diwanti-wanti oleh seseorang agar memilih partai itu. Ini membuat ibu takut karena sedang sekolah di luar negeri. Saya heran. Ibuku perempuan paling pemberani di dunia ini, kok bisa takut?

Jaman sekarang hal ini sudah tidak ada lagi. Justru kadang tidak disadari masyarakat sebagai suatu kemewahan. Bahwa kita dapat memilih tanpa rasa takut, tanpa pesimis. Tak banyak orang di dunia merasakan kemewahan ini. Karena saya tak mau Indonesia kembali seperti sebelum 1998, maka saya --dan tentu saja seluruh rakyat Indonesia- harus betul-betul mencari informasi, siapa pemimpin yang paling tepat untuk Indonesia? Siapa pemimpin yang tidak akan menyeret kita kembali ke jaman yang mengerikan itu?

Berbagai kesempatan mencari informasi seperti; membaca berita dan sejarah, ngobrol dengan keluarga dan teman, dan lain-lain sering saya lakukan. Namun saya ingin lebih. Lalu sebuah ide muncul di November 2013 lalu. Saya ingin mewawancarai capres dan menulis hasil wawancara saya di blog. Gratis tanpa fee buzzing. Saya melihat Gita Wirjawan yang paling memungkinkan karena beliau dekat dengan beberapa teman saya. Maka saya berkali-kali meminta kesempatan untuk menemui Gita empat mata saja. Akhirnya, awal April lalu kesempatan itu datang. Saya diberi kesempatan bertemu empat mata dengan Gita Wirjawan dan bertanya mengenai apapun. I’m very excited!

Kami sepakat bertemu tanggal 11 April 2014 di suatu tempat di Senayan. Setelah sampai di tempat dan menunggu beberapa menit, akhirnya saya dipersilahkan masuk ke ruangannya. Saat itu beliau mengenakan kemeja batik merah, sport jacket, dan sepatu keds. Kami berjabat tangan dan beliau mempersilahkan saya duduk. Awalnya beliau bingung saya ini siapa. Lalu saya jelaskan saya adalah blogger lulusan ekonomi UGM yang concern pada HAM dan kesejahteraan hewan. Saya pernah menulis tentang beliau dan juga mentions beliau di Twitter mengenai kesejahteraan hewan. Baru setelah itu beliau ingat dan mulai mempersilahkan saya untuk bertanya. Karena waktu yang diberikan sekitar 45 menit, maka saya putuskan untuk bertanya 3 pertanyaan saja.

***

Pertanyaan pertama adalah sesuatu yang sangat penting untuk menilai seorang pemimpin. Di Indonesia, ada dua pandangan terhadap reformasi. Pandangan bahwa reformasi sebagai kemajuan Indonesia atau pandangan bahwa reformasi sebagai kemunduran Indonesia. Bagaimana seseorang memandang reformasi bisa menunjukkan bagaimana orang tersebut menghargai demokrasi. Saya ingin mengetahui bagaimana Gita menghargai demokrasi. Maka dari itu, pertanyaan pertama saya adalah, "Bagaimana Bapak memandang reformasi? Sebuah kemunduran atau kemajuan?"

“Tentu saja kemunduran,” jawab Gita dengan mantab. Saya sedikit bingung dan meminta beliau menjelaskan mengapa menurut beliau reformasi adalah sebuah kemunduran. Beliau menjawab, “Maksudnya dalam segi apa? HAM kan? Kalo dari segi HAM tentu itu suatu kemunduran.” Maka saya jawab, “Ya tentu saja. Selain itu, setelah reformasi apakah menurut Bapak, Indonesia menjadi lebih maju atau justru mengalami kemunduran?

Menurut Gita, Indonesia menjadi lebih maju setelah reformasi. Indonesia menjadi negara demokrasi. Walaupun kata beliau, masyarakat Indonesia masih kurang rasional dalam memilih, tepatnya masih memakai emosi saat memilih. “Namun dari hasil pileg kemarin, masyarakat Indonesia sudah cukup rasional,” tambahnya.

“Lalu bagaimana caranya agar masyarakat menjadi masyarakat yang rasional dalam memilih? Apakah dengan pendidikan?” tanya saya. Beliau menggelengkan kepala. Beliau jelaskan, selain pendidikan, media berperan penting dalam menciptakan masyarakat yang rasional dan cerdas dalam berpolitik atau memilih pemimpin. Beliau memberi contoh pada banyaknya tayangan sinetron, infotainment, dan lain-lain telah menguasai masyarakat dan membuat masyarakat kurang bijak dan rasional dalam berpolitik. Tayangan semacam ini lebih sering muncul di televisi karena dikuasai oleh brand. Brand-brand mengusai tayangan televisi dengan hanya memasang iklan di tayangan yang laku ditonton oleh masyarakat Indonesia. Padahal sinetron itulah yang laku di Indonesia.

Atas penjelasan tersebut, saya bertanya, “Bagaimana caranya menghentikan tayangan semacam itu menguasai televisi Indonesia?” Beliau mengatakan bahwa seharusnya ada peraturan porsi penayangan di televisi Indonesia untuk membatasi agar brand tidak menguasai pada tayangan-tayangan tertentu saja.

Beliau menambahkan, ia mempercayai kinerja strong center dalam kepemimpinan Indonesia. Beliau menjelaskan, strong center adalah bagaimana pemerintah pusat dengan tegas mengendalikan kebijakan fiskalnya (kebijakan fiskal adalah usaha pemerintah dalam mengendalikan pendapatan dari pajak dan juga mengendalikan pengeluaran negara). Jika presiden Indonesia mampu mengendalikan kebijakan fiskalnya dengan kuat, maka ia mampu mengendalikan seluruh Indonesia. Sebagai contoh, presiden memberikan dana kepada pemimpin suatu daerah untuk membangun jembatan. Jika dana tersebut tidak digunakan dengan tepat oleh yang bersangkutan sesuai yang direncanakan, maka dana akan ditarik, tidak akan diberi dana lagi, dan malah yang bersangkutan akan dilaporkan ke KPK. “Harus ada yang namanya reward and punishment,” tambah Gita. Kemudian beliau justru bertanya, "Nah siapa pemimpin yang berani seperti itu?"

Kemudian saya melanjutkan pada pertanyaan kedua, tentang Aksi Kamisan. Saya bertanya apakah beliau mengetahui tentang Aksi Kamisan. Sayangnya beliau belum pernah mendengarnya. Lalu saya ceritakan apa itu Aksi Kamisan dan siapa yang memulainya (bagi pembaca yang belum mengetahui aksi ini, saya pernah menulisnya di sini). Saya ceritakan kepada beliau bahwa Aksi Kamisan dimulai sejak 2007, dengan ratusan surat untuk SBY, tapi hingga sekarang belum juga ditanggapi.

Mendengar cerita tersebut, beliau hanya terdiam dengan memberikan ekspresi sedih. Kemudian saya bertanya, "Jika Bapak jadi presiden, apa yang bisa Bapak lakukan?" Beliau menjawab bahwa minimal ia akan menemui mereka dan dari pertemuan itu akan dilanjutkan dengan rencana apa yang bisa dilakukan pemerintah. Saya penasaran dan bertanya, “Menurut Bapak, kenapa pemimpin sekarang dan sebelumnya tidak mampu menyelesaikan masalah ini?” Beliau katakan bahwa kita tidak perlu memandang masa lalu. Cukup memandang bagaimana ke depannya.

Karena waktu yang sangat mepet, saya harus dengan cepat melanjutkan ke pertanyaan terakhir saya, yaitu mengenai kesejahteraan hewan di Indonesia. Saya tanyai beliau apakah benar beliau baru saja membeli kucing. Beliau membenarkannya dan justru menambahkan bahwa beliau juga memiliki kelinci. Saya tanyakan sekali lagi, apakah beliau memiliki binatang peliharaan dengan cara membeli? Dan beliau mengiyakan. Dengan kecewa saya katakan kepada beliau bahwa seharusnya beliau tidak membeli karena jumlah kucing dan anjing di Indonesia ini sudah over populasi. Beliau pun kaget dan meminta data populasi kucing. Saya janjikan untuk memberikannya di lain waktu. Maka saya sarankan kepada beliau agar beliau mengadopsi, bukan membeli dari breeder. Saya juga katakan kepada beliau, saya mengharapkan masyarakat bisa diajak untuk lebih memilih mengadopsi, bukan membeli hewan peliharaan.

Lalu Pak Gita menjawab bahwa permasalahan ini juga bisa diselesaikan dengan strong center tadi. Pemimpin dengan kebijakan fiskalnya bisa memberikan dana ke pemerintah kota, meminta pemerintah kota menangkap dan mengurusi kucing liar di kotanya. “Misal jika masih saja ada kucing liar di Senayan, maka dana untuk pemerintah yang bersangkutan diambil, diberi punishment,” tegasnya.

Lalu saya menanyakan pendapatnya mengenai wacana adanya badan baru untuk melindungi kesejahteraan hewan. Badan ini yang akan melindungi hewan dari penyiksaan atau penyalahgunaan hewan. Beliau tidak setuju. Beliau mengatakan kebanyakan orang disini selalu menyelesaikan masalah dengan badan baru. Padahal menurutnya tidak perlu. Sekali lagi menurutnya dengan adanya strong center, jika ada pemerintah yang tidak melakukan tugasnya, maka diberi punishment. Baginya, begitu saja sudah cukup. Saya pun bingung. Saya tanyakan kepada beliau, “bagaimana jika ada kucing yang disiksa? Kemana masyarakat dapat melaporkan?” Beliau menjawab, seharusnya dilaporkan ke pemerintah kota. Jika mereka tidak menjalankan tugasnya, sekali lagi akan diberi punishment.

Sayang sekali kemudian beliau diingatkan ajudannya untuk sholat Jumat. Obrolan kita berakhir sampai disitu saja. Setelah berfoto bersama dan berjabat tangan, kami pun berpisah. Saya merasa waktu yang diberikan cukup lama dan cukup banyak yang kita obrolkan. Namun banyak pernyataan beliau yang harus saya hormati untuk tidak ditulis disini.

***

Jika menilik kembali jawaban-jawabannya, Gita telah menggambarkan bagaimana ia akan memimpin Indonesia. Beliau berusaha menunjukkan jika menjadi pemimpin ia akan mengendalikan seluruh pemerintahan dengan strong center atau reward and punishment. Seluruh masalah Indonesia dari tayangan media yang tidak mendidik hingga korupsi akan beliau selesaikan dengan sistem strong center. Karena menurutnya, seluruh permasalahan Indonesia dapat terselesaikan jika pemerintah pusatnya, khususnya presidennya, bisa tegas dalam mengendalikan fiskal. Atau dengan kata lain, seluruh permasalahan Indonesia dapat terselesaikan jika presiden bisa tegas mengendalikan pemerintah yang tidak menjalankan tugasnya dengan memberikan punishment. Punishment bisa berupa penghentian dana atau pelaporan penyelewengan ke KPK. Sistem strong center ini menurut saya tepat untuk memimpin pemerintahan Indonesia yang selama ini kacau balau atau bahkan banyak penyelewengan. Menurut saya sistem ini akan mendisiplinkan pemerintah dan juga memberikan efek jera. Namun hal ini hanya tercapai jika sistem ini dipimpin oleh presiden yang benar-benar bersih dan berintegritas. Jika tidak, maka justru sistem ini akan menguntungkan presiden yang korup dan diktator.

Jawaban Gita pada pertanyaan terakhir seputar kesejahteraan hewan tidak memuaskan saya. Saya kurang setuju dengan hanya mengandalkan pemerintah kota dan mengandalkan strong center dari pusat. Kesejahteraan hewan tidak hanya seputar pemerintah mengurusi hewan, namun juga perilaku masyarakat terhadap hewan. Adanya strong center tidak akan membantu melindungi hewan yang disiksa oleh pemiliknya, oleh rumah jagal, atau oleh masyarakat yang memburu binatang yang dilindungi. Contohnya kasus kucing yang ditembaki oleh tersangka Dadang. Sistem strong center tak dapat banyak membantu masalah ini. Masyarakat yang peduli tetap kesulitan mencari cara untuk menghentikan dan menghukum tindakan keji Dadang. Oleh karena itu bagi saya, sistem strong center tidak selalu menjawab semua permasalahan Indonesia. Tetap dibutuhkan badan baru untuk melindungi kesejahteraan hewan Indonesia dari segala siksaan atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Baru setelah badan terbentuk namun tidak menjalankan tugasnya dengan semestinya, maka sistem strong center sangat dibutuhkan. Sayang sekali hal ini tidak sempat saya katakan kepada beliau.

Namun di luar setuju atau ketidaksetujuan saya terhadap jawaban Gita, saya sangat senang diberi kesempatan menguasai waktu beliau selama 45 menit. Benar-benar 45 menit ekslusif untuk saya.  Untuk itu saya sangat berterima kasih kepada Pak Gita dan timnya. Semoga capres lain juga berani ditemui oleh saya atau blogger lain untuk ditanyai apa pun agar kami tahu keberanian dan kualitas para calon pemimpin kami.

Pulang dari menemui Pak Gita, saya menyeberangi Senayan di bawah terik matahari yang menyakitkan. Namun hati saya gembira. Saya hidup di negara yang hebat. Tak hanya dibebaskan memilih pemimpin tanpa rasa takut, tetapi juga dibebaskan mengorek kualitas calon pemimpinnya dengan berbagai cara. Bahkan dapat menemui langsung untuk menanyakan apapun. Sebuah kemewahan yang tak dapat dirasakan oleh orang tua saya 17 tahun yang lalu.