FPI, Insiden Monas, dan Keyakinan

Memakai atribut ke-Islam-an dan
membawa bendera Indonesia: mempermalukan Islam dan Indonesia
.

Sebenarnya saya sedang sibuk terpontang-panting disini, tapi khusus untuk mengungkapkan pendapat yang sejak kemarin terpendam, saya tulis ini dengan tergesa-gesa.

Terkait dengan Insiden Monas, yaitu aksi damai AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang dinodai oleh aksi kekerasan FPI (Front Pembela Islam), ada 3 kunci pokok yang ingin saya sampaikan disini.

1. Saya Islam, tetapi saya tidak merasa agama saya dibela, melainkan dipermalukan. Sorry, agama saya tidak seperti itu. Islam tidak seperti itu. Maka dari itu hingga detik ini saya menganut Islam. Kalimat ini adalah kalimat yang selalu ingin saya sampaikan semenjak adanya aksi-aksi anarkis FPI di berita jauh sebelum Insiden Monas. Hey FPI, agama bukan mainan.

2. Kekerasan yang disengaja itu tidak layak dimaafkan. Apapun alasannya. Bahkan seorang wanita yang sering disiksa oleh suaminya, namun membunuh suaminya saat tidak sedang menyiksanya saja harus diadili, apalagi sekelompok lelaki yang mengajar sekelompok orang (laki-laki, perempuan, hingga anak-anak) yang tidak sedang menyerang mereka! Apakah perlu dimaafkan dan tidak diadili? Kalo ya, berarti jangan sebut negara ini negara hukum. Mempermalukan hukum saja.

3. Keyakinan adalah suatu pemikiran dan perasaan. Dari manakah pemikiran dan perasaan itu datang? Dari diri masing-masing individu. Seharusnya menjadi sesuatu yang tabu untuk membahas mengenai perasaan yang diyakini seseorang. Apalagi memaksakan keyakinan. Itu bukan hak saya, anda, atau mereka. Bukan hak satu orangpun di dunia ini untuk memaksakan keyakinannya pada orang lain.

Saya sedang menunggu dan tidak sabar untuk menikmati berita-berita di televisi maupun media cetak mengenai pembubaran dan penahanan anggota FPI. Serve the popcorn, please!

Memakai Bahasa Indonesia karena beberapa faktor.