Islam

Indonesia Kelewatan Menghina Agama

Kita dari sini, dari Indonesia, yang sejarah, nilai hidup, nilai bernegara, nilai bermasyakat berbeda dengan Perancis, turut menghakimi bagaimana seharusnya Perancis menghormati sebuah agama. Bagaimana seharusnya Perancis melarang kebebasan berekspresi "yang kelewatan" seperti majalah Charlie Hebdo, Paris. Saya sendiri tidak setuju jika majalah Charlie Hebdo dikatakan kelewatan berkreasi. Alasannya saya tulis disini.

Namun kata teman baik saya Frankiey Pandjaitan, "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak." Apa benar kita sebagai warga negara Indonesia yang katanya harus saling menghormati agama benar-benar menghormati semua agama?

Kumpulan foto judul artikel di atas menjawab bahwa Indonesia tidak menghormati agama, khususnya agama minoritas dan bahkan umat yang mayoritas membiarkannya terus terjadi seakan itu wajar.

VOA Islam, Arrahmah, Islam Pos, justru media-media penyebar fitnah terhadap agama lain di Indonesia. Penyebar fitnah, bukan sekedar lelucon kartun. Kalo ditimbang beratnya, jelas penyebaran fitnah itu kejahatan yang sangat berat. Seharusnya sebagai umat Islam kita lebih concern masalah ini.

Saya mengharapkan umat Islam dipandang sebagai umat yang sabar, walaupun dicaci-maki oleh umat lain. Tetapi juga umat yang pemberani dan maju terdepan melawan sesama umatnya yang mencaci-maki umat lain. Kalau tidak salah ini adalah sifat yang harus ditiru dari nabi tercinta kita, Muhammad SAW. 

PS: Sebagai umat Islam saya minta maaf kepada umat agama lain yang sering tidak dihormati umat Islam. But guys, you know the true moslem wont do this.

Related Post:

Terorrist Attack Aftermath, Should I Change My Religion? 

Perlukah Aku Marah Jika Islamku Dihina?

Perlukah Aku Marah Jika Islamku Dihina?

Perlu waktu cukup lama untuk saya menulis ini. Agak sulit untuk mengungkapkannya tanpa membuat orang Islam marah. Tapi saya coba. Toh saya orang Islam, jadi justru tanggung jawab saya untuk mendiskusikan masalah Islam dengan sesama Islam.

Menentukan Batasan

Batasan itu penting. Seperti batasan dalam kebebasan berpendapat maupun batasan minta dihormati. Kalo tidak ada batasan kebebasan berpendapat, bisa-bisa semua orang asal menghina orang lain menyebabkan perpecahan. Kalo tidak ada batasan minta dihormati, bisa-bisa semua orang dikit-dikit ngamuk terus, dikit-dikit minta dihormati.

Bagaimana batasan kebebasan berpendapat itu yang masih rancu di masyarakat. Apakah semua pendapat dan lelucon negatif harus dipermasalahkan? Maka saya rasa, hina menghina itu perlu dibedakan, menghina pribadi (personal attacking) atau menghina sesuatu yang bukan masalah pribadi. Jadi agar tidak dikit-dikit pendapat dan kreasi orang lain dijadikan masalah besar yang tidak perlu.

Personal Attacking atau Tidak?

Hidup dan pilihan hidup seseorang dijadikan hinaan itu salah besar. Ini personal attacking. Misal ada orang menghina saya karena saya Islam, "Kalo Dian Islam berarti Dian terorist." Tentu saja orang yang menghina saya sebagai pemeluk Islam harus ditegur. Bahkan harus dilaporkan polisi karena dia memicu perselisihan.

Contoh lain, misalnya ada orang yang menghina selera musik saya, "Ih sukanya Lady Gaga. Kamu berarti setan!" Atau menghina saya sebagai orang Jawa, "Orang Jawa? Berarti pemalas!" Atau menghina orientasi seksual saya, "Lu lesbi? Dosa lu!" Dan berbagai hinaan terhadap saya sebagai manusia dan pilihan-pilihan hidup saya. Semua hinaan itu baru pantas dipermasalahkan, karena menuju pada pribadi hidup seseorang, hak hidup seseorang. Sekali lagi, ini personal attacking. Apa salah saya jika saya suka musiknya Lady Gaga? Bukan berarti saya setan. Apa salah saya jika saya orang Jawa? Bukan berarti saya pemalas. Apa salah saya jika (misal) saya lesbian? Bukan berarti saya akan masuk neraka. Mereka tidak berhak menghakimi atau bahkan menghina saya.

Tetapi berbeda pada sesuatu yang bukan pribadi seseorang. Islam itu bukan seseorang, melainkan sebuah agama. Lagu pop itu bukan seseorang, melainkan sebuah genre musik. Pulau Jawa itu bukan seseorang, melainkan sebuah pulau. Lesbi itu bukan seseorang, melainkan orientasi seksual. Sementara pemeluk agama Islam itu seseorang. Penyuka lagu pop itu seseorang. Orang Jawa itu seseorang. Lesbian itu seseorang.

Hal-hal yang bukan tertuju pada seseorang adalah hal-hal yang bisa dijadikan diskusi umum. Semua orang berhak berpendapat bagus, buruk, menghina, asalkan tidak tertuju pada pribadi seseorang, tidak personal attacking siapapun. Semua orang memiliki hak atas pemikirannya dan memiliki hak untuk menyuarakannya, seburuk apapun itu. Sementara semua orang dilarang berpendapat atau menghina pribadi seseorang. Itu bukan haknya menghakimi kehidupan orang lain. Inilah bedanya.

Jadi apakah perlu kita mempermasalahkan seseorang menghina musik pop sebagai musik setan? Menghina Pulau Jawa sebagai pulau yang kotor? Menghina betapa lucunya jika lesbian bersetubuh? Hingga mempermasalahkan yang menghina Islam? Saya pikir tidak perlu. Hak mereka mengungkapkan pendapat jeleknya tentang musik pop, tentang Pulau Jawa, tentang persetubuhan lesbian, atau tentang Islam. Karena mau bagaimanapun itu pendapatnya tentang sesuatu, bukan tentang hidup seseorang.

Toh saya tetap cinta musik pop, saya tetap orang Jawa, dan Islam tetap di hati saya yang terdalam. Katakan apa saja pendapat mereka, itu hak mereka dalam berpendapat. Saking percaya dirinya aku, saking cintanya aku, hinaan mereka tidak mempengaruhi pilihanku.

Apa yang dilakukan majalah Charlie Hebdo Paris termasuk penghinaan pada sesuatu yang bukan ranah pribadi seseorang. Mereka tidak menghina kita sebagai pemeluk Islam tetapi mereka menghina Islam. Jadi jika menurut mereka Islam agama yang jelek, ya terserah mereka. Jika menurut mereka Muhammad menjijikkan, ya terserah mereka. Tetapi aku tetap Islam dan memandang Muhammad sebagai panutan hidupku.

Reaksi yang Tepat

Justru kurang tepat jika melarang seseorang yang berpendapat di ranah umum. Berarti kita memaksa sebuah diskusi umum dihentikan, sebuah ide dibungkam. Padahal itu hak semua orang untuk berdiskusi dan berkreasi jika masih di ranah umum. Walaupun pendapat dan kreasi orang lain sangat buruk dan tidak enak di dengar, kita tetap harus memberinya hak.

Juga berarti saya terlalu mementingkan pendapat negatif mereka pada Islam daripada mementingkan betapa kuatnya saya mencintai Islam dan Muhammad. Jika kita percaya agama kita adalah yang terbaik, maka hinaan mereka terhadap agama kita itu tidak penting. Karena toh saya tetap cinta Islam dan percaya diri memeluknya.

Jika kepercayaan kita sudah sampai di level ini, justru orang lain akan segan dan bertanya-tanya, "Kenapa dia begitu percaya dirinya dan tetap mencintai Islam walaupun Islam selalu kita hina dan jatuhkan?" Maka jawabannya: karena memang Islamku itu baik. Sekuat apapun mereka mau menjatuhkan dan menghina Islamku, Islamku tetap yang terbaik.

Related Post:

Terorrist Attack Aftermath, Should I Change My Religion?

Indonesia Kelewatan Menghina Islam

Terrorist Attack Aftermath, Should I Change My Religion?

                                                                      &nbs…

I don't think killing somebody for any reason can save Islam. Why should we worry trying to save something that is bigger and stronger than us? A rude comic about Muhammad wont change our love to him. I even 100% sure, it wont change how other religion respect Islam and Muhammad.

However, killing in the name of Islam can create hatred to us, as muslims. We are losing respect. Now I am scared the society feared us.

Should I change my religion so that people wont hate me? No I wont. I just need to tell the world that Islam is a kind religion. That is why I am a muslim. The terrorist are just a few muslims who read Quran without their heart and soul.

As a muslim, I am deeply sorry for what happened to the cartoonists and the policemen in Charlie Hebdo, Paris. They are heroes for freedom of speech. I wish their soul rest in peace.

Fitnah Anti JIL Kepada Saya

Setelah mengikuti diskusi Anti JIL di Fisipol UGM 8 Juni 2012 itu, saya langsung mendapat berbagai fitnah dari para Anti JIL. Justru fitnah itu pertama kali muncul dari si pembicara pertama, dia memfitnah livetwit saya hanya menceritakan dirinya membahas soal tweet orang JIL saja. Mereka heboh maki-maki saya yang katanya tidak adil. Padahal isi livetwit saya tidak hanya itu.

Kemudian ada seorang wanita, yang sejak kasus di LKiS Mei lalu terus mentions saya di Twitter, juga turut memfitnah saya. Dia memfitnah: "Dian Paramita penghina Nabi Muhammad SAW" karena saya menyebarkan surat Muhammad kepada biarawan ini. Wanita itu juga memfitnah saya membela JIL karena saya ingin mendapat beasiswa dari JIL. Fitnah ini muncul karena dalam diskusi siang 8 Juni 2012 di Fisipol UGM itu saya membela JIL dan malamnya saya ngobrol dengan Budiman Sudjatmiko di Twitter tentang beasiswa di Inggris. Wanita itu menilik timeline saya dan setelah membaca obrolan saya tentang beasiswa itu, dia langsung mengasumsikan saya membela JIL karena ingin mendapat beasiswa dari JIL!

Mungkin wanita ini mengira semua tindakan manusia itu selalu bersifat transaksional. Dia mengira semua orang tidak pernah tulus jika membela sesuatu. Dia kira jika seseorang membela sesuatu itu untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Dia kira saya membela Irshad Mandji karena saya lesbi, saya membela Lady Gaga karena saya fans beratnya, saya membela JIL karena saya butuh beasiswanya. Dia kira semua yang saya lakukan selalu untuk kepentingan saya pribadi. Dia perlu tau, tak semua manusia berpikiran selicik dan sepicik itu. Dia perlu tau, banyak sekali manusia yang membela orang lain dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dia perlu tau dan menghentikan fitnah-fitnahnya.

Bahkan dulu setelah kasus penyerangan MMI di diskusi Irshad Manji LKiS Mei lalu, livetweet dan keesaksian saya yang mengatakan pager dijebol, makanan diinjak-injak, kaca perpus dipecahi, teman saya dipukuli mereka sebut ngibul. Mereka memfitnah saya ngibul karena kesaksian teman mereka dari anggota MMI berbeda dengan kesaksian saya. Sehari kemudian Sultan Hamengkubuono X ikut mengomentari kejadian ini dan akhirnya mereka diam tak lagi menyebut saya ngibul. (:

Baru-baru ini fitnah lain dari para Anti JIL juga muncul, antara lain mereka katakan Tuhan saya adalah $ alias uang. Mentions yang mengganggu saya terus datang hingga hari ini. Selain memfitnah, mereka juga memaki atau mengejek. Jika saya katakan mereka telah memfitnah dan memaki, mereka sebut saya lebay dan meminta bukti. Hahaha. Tentu saja bukti ada. Semua fitnah dan cacian mereka sudah saya capture dan simpan. Hanya saja, untuk apa meladeni mereka? Jika ada yang ingin melihat buktinya, saya perlihatkan secara langsung. Saya tidak mau publish buktinya dan membuat mereka terkenal lewat akun Twitter dan blog saya ini.

Ada yang menasehati saya untuk bersabar, didiamkan saja. Memang saya sudah mendiamkan mereka. Tapi mereka masih tetap saja mentions saya. Setiap hari. Semua tweet saya dikomentari. Bahkan tweet teman-teman yang me-mentions saya ikut dikomentari. Twit fitnah-fitnah mereka banyak di-retweet (RT) dan ditambahi komentar kasar. Semua memenuhi timeline saya. Membalas tweet mereka itu sama seperti berkelahi dengan monster yang jika lehernya dipotong justru akan tumbuh 3 leher baru. Membalas tweet mereka akan berujung pada pengroyokan mentions. Ada yang ikut mendebat, ikut memaki, atau ikut RT dan CC. Ada beberapa akun mereka yang setiap hari mengganggu saya. Tidak ada satupun tweet dia yang saya balas. Tapi tetap menganggu saya. Justru pernah ada yang setiap hari memaki dan mengganggu saya. Tak satupun ada yang saya balas. Malah tiba-tiba dia bilang sudah alergi dengan saya. Yang ganggu sapa, yang alergi sapa. Heheaheu.

Apakah mereka layak di-block? Sangat layak. Banyak yang menyarankan saya untuk mem-block mereka. Tapi perlu diketahui, kalo mereka di-block, mereka akan foto bukti di-block dan memamerkannya di diskusi-diskusi Anti JIL lainnya. Bangga di-block, merasa menang debat. Padahal yang mereka lakukan bukan debat, tetapi mengganggu. Berdebat itu seharusnya sopan, menghormati lawan debat, menggunakan argumentasi yang relevan, dan tetap stick pada topik. Tetapi mereka sebaliknya. Mereka sering melantur keluar dari topik, menggunakan kata-kata kasar, personal attacking dengan memaki kehidupan pribadi saya, hingga memfitnah. Mem-block mereka juga membuat saya tidak lagi bisa membaca fitnah-fitnahnya dan mendoakan mereka. (:  

Apa yang bisa saya lakukan? Ini senjata saya yang paling ampuh: percaya Allah. Karena itu saya percaya Dia akan selalu melindungi saya dari setan, akan selalu mengingatkan saya untuk bersabar, dan akan selalu memberi keadilan yang terbaik untuk umatnya yang mencintai-Nya dengan tulus. Dengan mempercayai-Nya, hati saya menjadi damai.

Diskusi Anti Jaringan Islam Liberal di Fisipol UGM 8 Juni 2012

Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 8 Juni 2012 lalu. Saat itu blog saya sedang direnovasi sehingga saya tak sempat posting. Tapi sudah saya tulis dan sekarang baru sempat saya postingkan.
Saya tau ada diskusi ini dari tweet seseorang di Twitter. Saya merasa saya harus bertemu anggota Anti Jaringan Islam Liberal (JIL) dan mendengarkan apa yang akan mereka sampaikan. Acara dijadwalkan pukul 13.00 WIB. Namun karena saya harus bimbingan skripsi dulu, sehingga saya datang terlambat. Kurang lebih setengah jam saya melewatkan diskusinya.


Lokasi diskusi di kampus Fisipol UGM. Terlihat 2 orang di depan kelas, satu moderator, satunya pembicara sedang berbicara dengan bantuan Power Point-nya. Saya langsung masuk kelas, duduk paling depan, dan mendengarkan sambil update live tweet. Saat membuka Twitter, ada sebuah tweet dari entah siapa yang CC ke saya isinya: "Dian Paramita udah dateng nih..."


Pembicara pertama saya nggak tau namanya, tapi saya tau Twitter-nya (karena setelah itu dia mentions saya melulu). Dari situ saya tau nama dia Aspin. Saat saya datang itu, dia sedang menunjukkan fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap pluralisme yang merujuk pada suatu ayat Al Quran. Setelah itu dia menyalahkan orang yang tidak sesuai Islam, yaitu JIL. Dia menunjukkan Surat Al Kahfa 20, yang inti isinya tentang barang siapa yang tidak sesuai Islam, maka akan masuk neraka. Dia menunjukkan foto-foto tweet orang JIL yang menurutnya menghina Islam. Dia juga sempat curhat kalo orang JIL suka mem-block mereka sampai menunjukkan foto-foto account orang JIL yang mem-block dia. Katanya, "orang JIL itu katanya membela perbedaan pendapat, tapi kalo kita debat trus kita di-block. Omongan orang JIL itu ga sesuai tindakan." Dia mengeluhkan tentang orang JIL yang beranggapan Tuhan tak perlu dibela, tetapi manusialah yang perlu dibela. Dia tidak paham logika JIL itu.


Sesi kedua, hadir seorang ustad yang juga datang terlambat. Saya berusaha mencari inti omongannya, tapi tak berhasil. Beberapa kali si ustad hanya mengulang perkataan pembicara pertama. Sehingga tidak saya tulis ulang disini.


Saat sesi pertanyaan, ada 3 penanya termasuk saya. 1 penanya dengan suara yang sangat pelan bertanya tentang Islam, 1 penanya dari mahasiswa Katolik mengeluhkan tentang definisi pluralisme dari MUI dan Anti JIL yang mendiskreditkan agama lain. Dan saya bertanya cukup banyak, berikut pertanyaan saya:
  1. "Kita hidup di Indonesia yang bukan negara Islam. Ada agama selain Islam. Kalo mengharamkan pluralisme, trus gimana? Mau apa?" Dia jawab, "bahwa kita boleh menghargai agama lain tapi tetap Islam itu di atas agama lain karena Islam itu ekslusif." Tadinya saya mau jawab lagi, "baru satu agama merasa paling eksklusif aja Indonesia jadi seperti ini, gimana kalo kelimanya merasa eksklusif sepertimu?" Tapi saya tidak diberi kesempatan, pembicara pertama menolak saya debat dengan memberi isyarat tangan "tunggu" tapi kemudian saya tetap tidak diberi waktu.
  2. "Kenapa kalian harus sibuk menyalahkan orang lain tidak sesuai Islam jika Allah saja sudah menjanjikan neraka seperti pada Surat Al Kahfa 20 yang Anda sampaikan tadi?" Ini tidak dijawab.
  3. "Toh kalo ada orang yang melakukan dosa, apa ruginya Anda?" Ini juga tidak dijawab. Tapi dia melantur sampai ke penolakan Irshad Manji & Lady Gaga. Katanya, "wajar kalo sebagai tuan rumah saya tidak suka tamunya, saya boleh menolak tamu datang." Dia lupa, tuan rumah negara ini tidak hanya dia dan teman-temannya. Lagi-lagi saya tidak diberi kesempatan mendebat. Dia memberikan isyarat tangan "tunggu" lagi tapi saya tetap tidak diberi waktu.
  4. Mereka anggap omongan JIL tidak sesuai tindakan karena katanya JIL membela kebebasan berpendapat tetapi suka mem-block. Menanggapi itu, saya katakan di depan peserta, "bagaimana tidak orang JIL tidak mem-block mereka-mereka ini? Lha wong isi tweetnya saja memaki-maki. Saya ya, Mbak-Mas, sejak kasus di LKiS Mei lalu, tiap hari dalam sejam bisa tuh puluhan mentions saya isinya cuma ngatain saya, 'goblok, bego, otaknya rusak, kalo ga pake kerudung jangan berani ngomongin Islam.' Mungkin orang JIL sudah tidak tahan membaca caci-makian itu jadi di-block. Mereka layak di-block kalo isi tweet-nya seperti itu. Itu bukan kebebasan berpendapat namanya. Tapi kalo saya, mereka tidak saya block, saya mau liat sampai seberapa hebohnya mereka mencaci saya." Pembicara pertama tersenyum malu, lalu mengaku, sudah sering menegur temannya yang suka memaki tidak sesuai substansi. Dia juga sempat bilang, "mungkin kita sering counter ya Mbak di Twitter" Hahaha. Saling counter gimana, saya saja tidak pernah bales twit dia yang, maaf, nggak jelas itu. Sampai sekarang dia hanya suka RT tweet temannya yang sedang mentions saya dengan "Hahahaha" saja. Itu sesuau substansi?
  5. Saya bacakan mereka surat Nabi Muhammad SAW untuk biarawan Kristen yang Muhammad membela Kristen. Saya dapat surat tersebut dari Kompas disini. Lagi-lagi tidak ditanggapi.
  6. Menanggapi dia yang tidak paham mengapa orang JIL membela yang lemah, bukan Tuhan, saya katakan, "karena Tuhan itu default-nya sudah benar, sangat suci, tak perlu dibela lagi. Maka yang perlu dibela yang lemah, yang butuh bantuan kita yang lebih kuat ini." Lalu dia jawab yang dia cintai akan akan dia bela. Dia menganalogikan cinta kepada istrinya, kalo istrinya dicolek tentu dia bela. Saya tidak habis pikir, cinta terhadap Tuhan dia dianalogikan cinta terhadap istri?


Di akhir acara pembicara pertama bilang kalo Islam mengkafirkan agama lain, sama seperti Katolik mengkafirkan Islam. Langsung si mahasiswa Katolik membantah tegas, "itu tidak benar! Dalam agama saya, Katolik, tidak ada kita mengkafirkan Islam! Jadi mohon dikoreksi, itu tidak benar!" Dari situ saya menjadi curiga, jangan-jangan definisi "pluralisme" menurut mereka berbeda dengan definisi aslinya. Maka saya juga sempat menanyakan lagi apa definisi "pluralisme" menurut mereka, tapi si ustad menjawab enteng, "baca saja di buku." Saya katakan padanya, "saya sudah bosen, tiap tanya kepada kalian disuruhnya baca di buku. Saya tu tanyanya kepada Anda, bukan pada buku. Kalo memang kalian punya jawabannya, jawab sendiri, jangan suruh saya cari sendiri di buku. Itu kalo memang kalian punya jawabannya." Butuh beberapa saat sampai dia akhirnya menjawab bahwa definisi "pluralisme" menurut mereka berarti semua agama sama. Padahal menurutnya dan pembicara pertama, agama Islam tidak sama dengan agama lain karena Islam paling tinggi derajatnya.


MC pun menyetop paksa perdebatan kami karena waktu sudah habis. Tapi tiba-tiba dari kursi bagian belakang ada mahasiswa berteriak, "saya cuma mau tanya satu hal aja! Kalo Anda mengharamkan pluralisme hanya karena satu ayat itu saja, LALU DIMANA KEADILANNYA?!" Suasana sedikit tegang tapi kemudian ditutup. Pembicara pertama maupun si ustad tidak menjawab pertanyaan itu. Overall, dari 4 peserta yang ikut bersuara dalam sesi tanya-jawab, 3 menentang keras kedua pembicara. Di luar kelas saya bertemu dengan beberapa mahasiswa yang tadi di dalam diskusi, salah satunya ketua acara diskusi mingguan di Fisipol UGM tersebut. Mereka mengatakan inti diskusi dari Anti JIL sangat provokatif tetapi mereka setuju diskusi semacam ini harus terus dilakukan. Mahasiswa-mahasiswa itu berencana akan membuat lagi tetapi dengan 2 sumber yang lebih seimbang. Siang itu sangat cerah dan Fisipol UGM tak mampu dipengaruhi Anti JIL.


PS: Setelah saya pulang, muncul berbagai fitnah dari Anti JIL. Bisa dibaca di postingan saya disini.

Adat Berpuasa di Negara Egois

Kenapa ya banyak orang di negara ini (Indonesia), yang ingin dihargai kalau sedang berpuasa? Padahal menurut saya berpuasa itu urusan mereka dengan diri mereka sendiri dan Allah SWT. Namun kenapa tidak sedikit orang di negara ini yang merasa harus lebih dimenangkan hanya karena mereka sedang berpuasa dan parahnya justru merugikan orang lain.

Seperti contohnya restoran atau warung makan. Pada saat Bulan Ramadhan tiba, banyak restoran atau warung makan yang tadinya buka dari pagi hingga malam menjadi buka hanya saat malam saja. Kenapa begitu? Bahkan saya pernah menonton berita di Buser SCTV tahun lalu, para polisi di Tasikmalaya menggerebek warung-warung kecil di pinggir jalan yang masih tetap buka pada saat siang di Bulan Ramadhan. Kenapa harus digerebek? Apa salah mereka? Apakah negara ini negara Islam yang 100% penduduknya adalah muslim? Apakah di negara ini 100% penduduknya semua sejahtera sehingga mereka semua wajib berpuasa? Apakah di negara ini 100% penduduknya orang yang sehat sehingga mereka mampu berpuasa?

Saya mencoba menjawabnya.
Negara Indonesia bukan negara Islam, melainkan negara Pancasila. Terbukti dalam UUD, negara kita meyakini 5 agama lain selain Islam.
Di negara ini, tidak 100% penduduknya sejahtera dan sehat. Sebagian dari mereka tidak wajib berpuasa. Setahu saya, orang yang wajib berpuasa adalah orang yang mampu secara ekonomi maupun jasmani. Sehingga tidak ada salahnya apabila pada saat Bulan Ramadhan, ada seorang pendeta ngemil di sore hari; seorang kuli bangunan minum di pinggir jalan; dan seorang nenek makan di restoran pada siang hari. Yang menjadi semua itu salah apabila ada seorang muslim yang mampu dan sehat melarang kegiatan yang menjadi hak orang lain. Itu salah besar. Allah mengajarkan kita berpuasa untuk menahan napsu, bukan untuk memberikan kita hak melarang orang lain makan di depan orang berpuasa. Lagipula, seharusnya kita menahan rasa ingin makan atau minum dari diri sendiri, bukan meminta orang lain untuk menghormati kita yang sedang berpuasa. Apabila sudah niat berpuasa, seharusnya tidak mengharapkan orang lain untuk tidak makan atau minum di depan kita.

Tidak hanya itu. Pada saat Bulan Ramadhan, banyak kegiatan yang dikurangi. Misalnya sekolah, kuliah, bekerja, dsb. Astaga! Ini bukan Bulan Malas! Ini Bulan Ramadhan! Tidak seharusnya di bulan yang baik ini justru kita bermalas-malasan hanya karena sedang berpuasa. Seharusnya bulan ini dijalankan senormal mungkin seperti bulan-bulan yang lain. Yang membedakan hanyalah: kita berpuasa. Tapi tetap saja, kita terlalu manja dan minta dihargai pada saat menjalankan ibadah, yang sebenarnya urusan kita sendiri dengan Allah SWT.

Yah... Inilah negara bodoh, egois, dan malas. Enjoy the tiresome, people!

No Jilbab Please

Saya dongkol dengan quote "Berjilbab tapi tetap menarik"

Yang saya tahu, Allah memerintah kita untuk berjilbab agar tidak menarik.
Yang saya tahu, seharusnya wanita yang berjilbab itu memakai jilbab dengan warna-warna yang tidak menarik, seperti hitam, coklat, atau abu-abu.
Yang saya tahu, seharusnya wanita menggunakan jilbab yang longgar sehingga menutupi lekukan tubuhnya.
Yang saya tahu, jilbab itu tidak harus menutupi rambutnya, tapi HARUS menutupi bagian-bagian yang dianggap akan membuat terangsang.
Yang saya tahu, apapun yang dikenakan wanita untuk menutupi auratnya, apabila gerak-geriknya menarik perhatian, tetap saja wanita sia-sia menutupi auratnya.

Fakta yang terjadi adalah:
1. Wanita (khususnya di Indonesia), justru menghiasi jilbabnya dengan berbagai pernik-pernik mengerikan seperti berlian, manik-manik, atau bordiran yang heboh.
2. Jilbab yang seharusnya berwarna gelap dan tidak menarik, justru kadang diganti dengan warna-warna yang mencolok seperti merah, kuning, oranye, dan pink.
3. Semua orang juga pasti pernah jengkel karena banyak wanita berjilbab justru memakai pakaian yang ketat.
4. Sudah susah-susah menutupi rambut indahnya yang minim membuat terangsang malah kadang bagian-bagian tertentu terlihat, seperti leher, kaki, dan lengan tangan yang justru lebih membuat terangsang.
5. Sudah memakai jilbab yang baik dan benar, namun gerak-geriknya keterlaluan centil. Lari sana, lari sini, dipoto bergaya mecucu, teriak sana teriak sini, jalan megol-megol, dan kadang malah memperlihatkan kemesraan yang berlebihan dengan pasangannya di depan umum.

Buat apa menutupi rambut indahmu apabila semua itu sia-sia? Saya pikir, lebih baik saya memakai kaos oblong, celana pendek, sendal jepit, dan bergerak-gerik anggun; daripada memakai jilbab ketat berwarna merah, dengan manik-manik berlian di kepala, dan bergerak centil dimana-mana. Kalo belum siap untuk tidak tampil menarik, itu berarti belum siap memakai jilbab.

Thanks to my boifriend, Ari. Because of him I got this idea to write my thoughts.

FPI, Insiden Monas, dan Keyakinan

Memakai atribut ke-Islam-an dan
membawa bendera Indonesia: mempermalukan Islam dan Indonesia
.

Sebenarnya saya sedang sibuk terpontang-panting disini, tapi khusus untuk mengungkapkan pendapat yang sejak kemarin terpendam, saya tulis ini dengan tergesa-gesa.

Terkait dengan Insiden Monas, yaitu aksi damai AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang dinodai oleh aksi kekerasan FPI (Front Pembela Islam), ada 3 kunci pokok yang ingin saya sampaikan disini.

1. Saya Islam, tetapi saya tidak merasa agama saya dibela, melainkan dipermalukan. Sorry, agama saya tidak seperti itu. Islam tidak seperti itu. Maka dari itu hingga detik ini saya menganut Islam. Kalimat ini adalah kalimat yang selalu ingin saya sampaikan semenjak adanya aksi-aksi anarkis FPI di berita jauh sebelum Insiden Monas. Hey FPI, agama bukan mainan.

2. Kekerasan yang disengaja itu tidak layak dimaafkan. Apapun alasannya. Bahkan seorang wanita yang sering disiksa oleh suaminya, namun membunuh suaminya saat tidak sedang menyiksanya saja harus diadili, apalagi sekelompok lelaki yang mengajar sekelompok orang (laki-laki, perempuan, hingga anak-anak) yang tidak sedang menyerang mereka! Apakah perlu dimaafkan dan tidak diadili? Kalo ya, berarti jangan sebut negara ini negara hukum. Mempermalukan hukum saja.

3. Keyakinan adalah suatu pemikiran dan perasaan. Dari manakah pemikiran dan perasaan itu datang? Dari diri masing-masing individu. Seharusnya menjadi sesuatu yang tabu untuk membahas mengenai perasaan yang diyakini seseorang. Apalagi memaksakan keyakinan. Itu bukan hak saya, anda, atau mereka. Bukan hak satu orangpun di dunia ini untuk memaksakan keyakinannya pada orang lain.

Saya sedang menunggu dan tidak sabar untuk menikmati berita-berita di televisi maupun media cetak mengenai pembubaran dan penahanan anggota FPI. Serve the popcorn, please!

Memakai Bahasa Indonesia karena beberapa faktor.

Fitna

Geert Wilders.

I'm sure you guys already watch FITNA, a 2008 short film by Dutch parliamentarian Geert Wilders. This 15 minutes movie is about how worried Wilders is if Islam is getting stronger. He describe how Islam is full of sarcasm, full of killing, terorist, etc. He described it like he knows what Islam is, just because he read Al Quran.

I'm sure you guys already watch the news, how Indonesian Muslims are mad to Wilders and do such a brutal thing: burning the Netherland's flag.

If I can write a letter to anybody, I'll write it to Geert Wilders and all Muslims in this whole world.

Dear Geert Wilders,
Al Quran is not that easy to understand. We have to read it from first to last. Not just read one paragraf or two then make a conclusion. It's not that simple. Al Quran is a very sophisicated religion. It is hard but it is beautiful. No body can understand this if they doesn't know anything about Islam. What you have made is a hate. You want to make a war that the world doesn't need it.

And to all muslims,
This is not a big deal. It's just a movie. We all know that our religion is not that bad. So why should we angry about it? Just take it easy and show the world that we're not like the movie. We love peace and we respect other religion. If we go down to the street do demonstration, burn Netherland's flag, use bad words to mock Geert, and go brutal, it will make other religion really think that we are as bad as the movie, even we know we're not.