Saya Mohon Jangan Netral atau Golput

Saya banyak mendengar bagaimana perasaan saudara-saudara yang masih ragu untuk memilih salah satu capres, atau bahkan ragu untuk memakai hak suaranya di 9 Juli nanti. Terlalu banyaknya konflik membuat saudara-saudara tentu saja merasa sangat muak, semua capres, semua timses, semua relawan sama saja. Semua ngotot, semua marah-marah, semua menjelek-jelekkan capres lawan. Lalu apakah lebih baik netral dan golput?

Terusik

Dukungan terhadap capres memang terkesan emosional, fanatik, kadang seperti tidak masuk akal. Apa yang mereka lakukan tampak tidak seperti biasanya. Dira Sugandi misalnya. Ia menangis merindukan anaknya yang masih berusia 16 bulan di Bandung karena ia harus pergi ke Jakarta. Ia memilih di Jakarta terlebih dahulu dan bekerja keras menyumbangkan lagu untuk membantu kampanye capres pilihannya.

Atau Sonia Eryka yang mengaku mengumpulkan brosur capres pilihannya lalu menaruhnya di meja-meja satpam dan pegawai di apartemennya. Ia bersyukur saat dari kejauhan melihat para satpam dan pegawai sedang membaca brosurnya.

Atau Luise Najib yang mengaku seumur hidupnya selalu golput namun kali ini ia rela bolak-balik RT/RW-dukuh-kelurahan hanya untuk mendapatkan hak suara mendukung capres pilihannya.

Atau JFlow yang mengaku siang malam bekerja keras hingga melupakan piala dunia, hanya karena ia ingin capres pilihannya disukai anak muda lewat kampanye kreatifnya.

Atau Norma anak SMA di Banjarmasin yang mengirimi email saya untuk bertanya bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan surat suara jika baru berusia 17 pada 30 Juni lalu.

Atau Ari Suharmoko, yang selama ini memilih untuk diam tak ikut berpendapat politik, akhirnya merasa harus turut maju bersuara membela capres pilihannya. Walau ia harus menanggung risiko menghadapi konflik dengan teman-temannya. Sesuatu yang sangat ia hindari.

Atau Claradevi Handriatmadja yang mengaku selalu meluangkan waktu untuk berdoa bersama keluarganya agar kemenangan pilpres diraih capres pilihannya. Ibunya tak henti-hentinya mengabari perkembangan terbaru capres pilihan mereka.

Dari kalangan seniman, intelektual, milyarder, pemuda, pedagang, atlet, netizen, hingga petani dan tukang becak bersama-sama menyumbangkan apapun yang mereka miliki agar capres pilihannya menang.

Mereka bukan sedang beradu menang hebat dengan kubu lawannya. Mereka bukan sedang gengsi kalah di 9 Juli nanti. Mereka bukan sedang mengikuti tren yang lagi populer. Mereka bukan pula sedang bekerja keras untuk mendapatkan uang. Mereka pun tidak melupakan pentingnya persatuan bangsa. 

Mereka hanya merasa nilai-nilai hidupnya sedang terusik. Ada sesuatu di hati yang mengganjal jika tidak disuarakan. Mereka merasa akan menyesali hidupnya jika tidak turut berbuat sesuatu. Sekecil apapun itu. Untuk melawan kelompok yang terlalu berisiko jika memimpin bangsa ini.

Mereka terusik pada kenyataan bahwa ada kelompok bermasalah hampir memimpin negri ini jika tidak dilawan. Mereka terusik pada kenyataan bahwa ada orang baik hampir disingkirkan bila tidak dibela. Sesuatu yang mengusik hati --bagi orang-orang pemberani- adalah bahan bakar untuk melakukan perlawanan. Mereka keluar dari zona aman, melakukan sesuatu di luar kebiasaannya, untuk alasan yang sangat baik dan bermartabat: membela yang benar, melawan yang salah.

Tidak Netral

Saya akui netral adalah tindakan benar dan bijak, namun harus di situasi yang tepat pula. Misalnya di saat dua sahabat kita sedang berkompetisi dalam ajang menyanyi. Tentu saja bersikap netral adalah pilihan yang bijak. Kita harus memberi dukungan yang sama untuk keduanya, walaupun dalam hati kita tau siapa sahabat yang memiliki suara lebih baik.

Berbeda di saat salah satu sahabat berbuat curang dan menyakiti sahabat kita yang lain, maka bersikap netral bukanlah tindakan yang bijak. Jika kita tau dalam hati kita ada yang tidak adil, maka sudah sepatutnya kita membela yang benar. Tentu saja dengan cara yang baik dan adil. Kemungkinan besar kita justru bisa menjadi penengah yang mendamaikan keduanya. 

Dalam menulis berita, sebuah media memang seharusnya bersikap netral. Namun apakah media bersikap netral masih tepat saat salah satu pilihan sangat berisiko? Sepanjang sejarahnya selama 31 tahun, The Jakarta Post selalu berusaha bersikap netral dan tidak pernah memberikan dukungan mutlak pada salah satu kandidat. Namun kali ini mereka terbuka menyatakan keberpihakannya. 

Tidak mungkin untuk bersikap netral ketika kita berhadapan dengan pertaruhan yang begitu tinggi risikonya. Kami selalu berjuang untuk bersikap objektif dalam pemberitaan kami, akan tetapi kami juga memiliki sikap untuk berdiri di atas dasar moral yang benar ketika keadaan memaksa kami untuk membuat keputusan yang benar-benar penting...

... Orang-orang baik tidak boleh berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Kita harus bersuara ketika melihat penindasan berdiri tegar bersama-sama menghadapi ancaman gelombang kuat dari para penjahat dan bromocorah.

... Dukungan yang kami berikan diputuskan setelah melalui pertimbangan yang benar-benar matang dan bukanlah dukungan yang main-main belaka. Dukungan yang kami berikan adalah dukungan yang kami rasa benar secara moral.

- beberapa kalimat dari The Jakarta Post 4 Juli 2014. Terjemahan oleh Hans David.

Memang betul sebuah media harus bersikap netral. Namun di situasi seperti sekarang, menyelamatkan moral adalah tindakan yang lebih penting. Sama pentingnya seperti membela sahabat yang diperlakukan tidak adil oleh sahabat yang lainnya. Walaupun keduanya sahabat, namun perbuatan yang tidak adil terlalu berisiko untuk dibiarkan. Keadilan dan moral tetap harus diperjuangkan.

Tidak Golput

Definisi demokrasi bukanlah kebebasan berpendapat, namun sebuah hak yang diberikan kepada masing-masing individu dalam sebuah negara agar dapat turut menentukan pilihannya. Bukan melalui rapat MPR, bukan melalui kesepakatan para petinggi, tetapi melalui pengumpulan suara dari setiap individu.

Sebelum 16 tahun yang lalu, selain Golkar akan selalu memenangkan pemilu, MPR juga akan selalu memilih Soeharto untuk menjadi presiden. Ini terjadi selama 32 tahun. Selama 32 tahun itu rakyat harus menurutinya walaupun tidak menyukainya.

Tahun 2004, 6 tahun setelah reformasi, untuk pertama kalinya masing-masing dari kita bisa memilih presiden secara langsung. Mau ayah kita suka X atau ibu kita suka Y, tetapi jika kita lebih menyukai Z, maka silahkan pilih Z. Semua individu memiliki kebebasan memilih sesuka nuraninya.

Maka sungguh disayangkan jika kemewahan itu kita sia-siakan dengan menjadi golput. Hanya karena tidak ada pilihan yang baik, bukan berarti kita harus menyerah. Karena sesungguhnya tak akan pernah ada pilihan yang sempurna. Sangat disayangkan jika kesempatan menentukan nasib hari ini hingga nasib anak cucu tidak kita gunakan. Toh menjadi golput tidak bisa mengubah pilihan yang ada. Toh menjadi golput tidak membantu apapun dalam menuju kesejahteraan atau menghalangi bencana. Maka mari ikut menentukan pilihan.

Menentukan Pilihan

Memang ada kalanya situasi menyesakkan terjadi. Dimana semua pilihan itu buruk, memilih salah satu tetap mengusik hati. Tetapi kita harus selalu siap menghadapi semua itu. Paling tidak dapat sedikit menghalangi bencana dan sedikit menuju kesejahteraan. 

Jika dirasa kedua capres sama saja, timsesnya sama saja, orang di belakang mereka sama saja, visi/misinya juga sama saja, maka sebenarnya masih ada banyak hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan dalam memilih mereka.

Seperti misalnya pemimpin yang baik akan dipilih oleh orang yang baik pula. Kita perlu mempertimbangkan siapa capres yang dipilih oleh orang-orang baik di sekeliling kita. Orang-orang baik yang selama ini tidak hanya mementingkan dirinya, keluarganya, agamanya, partainya, sukunya saja. Namun orang-orang baik yang selama ini mementingkan kepentingan bersama. Karena orang baik semacam itu akan memilih pemimpin yang mementingkan kepentingan bersama pula.

Tendensi seseorang mendukung capresnya juga bisa menjadi bahan pertimbangan. Keuntungan apa yang akan mereka dapatkan jika capres yang mereka dukung menang? Uang, jabatan, atau justru tidak mendapatkan apapun. Mereka yang mendukung tanpa mengharapkan keuntungan apapun juga perlu kita pertimbangkan pilihannya.

Sebelum Tidur

2 hari lagi tanggal 9 Juli 2014. Sebentar lagi kita menentukan nasib bersama. Saya mohon jangan netral, mari mendukung orang baik. Saya mohon jangan golput, mari tidak membiarkan kelompok bermasalah memimpin negri.

Jika semua dirasa masih meragukan, bertanya kepada-Nya adalah cara yang terindah. Entah saat menjalankan ibadah masing-masing atau saat sebelum tidur. Saya percaya, Tuhan akan selalu membantu kita yang memiliki ketulusan untuk kebahagiaan bersama.

Selamat menyoblos. Selamat menjadi bagian dalam menyelamatkan negri.